Pages - Menu

Pages - Menu

Sunday, 6 July 2014

Cinta di Atas Cinta (a cerpen)

Assalamualaikum, Kawan! Gimana nih kabarnya? Pasti baik semua kan? :) Aku harap sih semua sehat2.
Nah, ini adalah kesempatan pertama saya berkolaborasi dengan Bapak Bagoes Darmawan yang merupakan guru matematika saya sewaktu di kelas dua SMP (trims, Pak :) ). Sebenarnya sih, saya juga sudah punya blog sendiri (silahkan kunjugi ya :) ). Tapi yah, emang semua sepi di blog saya.
Ya udah. Ini kali pertama saya posting di blog ini. Jadi, enjoy my cerpen ya!




Cinta di Atas Cinta

Hari Sabtu pagi yang cerah tanpa menyisakan segumpal pun awan kelabu di langit. Sinar fajarnya membiaskan ke segala penjuru. Angin yang setia menemani di waktu pagi pun ikut berhembus pelan membawa kesan sejuk-dingin di Kota Malang yang memang berada di daerah perbukitan. Meski begitu, jalanan mulai dipenuhi oleh berbagai kendaraan yang berlalu-lalang dengan beragam tujuan: mencari nafkah, menuntut ilmu, atau sekedar bersilaturahmi ke beberapa saudara terdekat.
Di sebuah tempat di sana yang tak akan tampak bila dilihat dari peta Tanah Air, seorang murid berseragam SMA sedang berdiri tegak sambil berusaha menyetop sebuah angkutan umum yang kebetulan sedang melaju kencang menuju ke arahnya. Angkot—begitu kebanyakan orang menyebutnya—yang sejatinya adalah Kijang yang dimodifikasi sedemikian rupa dan dilapisi oleh cat warna biru laut itu lalu meminggirkan dirinya agar murid SMA yang meyetopnya itu bisa naik.
“Landungsari ya, Pak!”, seru murid SMA itu pada sang supir yang sejurus kemudian langsung injak gas. Dia lalu merogoh ponsel yang ada di saku seragamnya, dan lalu sibuk dengan benda batangan berwarna keperakan itu. Beberapa saat yang lalu dia memang merasakan sebuah getaran dari sakunya yang ia duga berasal dari ponselnya tersebut.
Tiba-tiba... PUK!
“Assalamualaikum, Ar!”.
Sebuah tepukan yang langsung disusul oleh sebuah sapaan ramah tadi membuat konsentrasi Ardian terhadap ponsel bermodel geser itu buyar seketika. Refleks, ia menoleh ke sumber suara. Sapaan yang ia dengar tadi sudah khas di telinganya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah!”, jawab Ardian seraya tersenyum pada Aru. “Wah, bareng lagi nih kita”.
“Hehe... iya nih. Eh, nanti kamu ikut kan, rapat redaksi sepulang sekolah nanti?”.
Ardian mengangguk mantap. “Insya Allah aku usahakan ikut. Aku barusaja buka sms dari ketua. Nih!”, katanya sembari menunjukkan ponsel Sony Ericsson seri Walkman-nya kepada Aru.
=========
“Karena kurang dari dua bulan lagi sekolah kita akan mengadakan Ujian Kenaikan Kelas, maka saya harapkan majalah sudah bisa mulai dicetak dua minggu sebelum ujian dilaksanakan”, ujar Ketua yang tengah berdiri di hadapan puluhan anggotanya, seraya memberikan pembukaan singkat untuk rapat hari ini.
Meski jam pelajaran telah usai, namun hal itu tak serta merta membuat lingkungan sekolah sunyi seketika. Beberapa ekstrakurikuler mulai beraktivitas justru ketika sebagian besar murid telah beranjak pulang. Salah satunya, ekstrakurikuler Majalah yang diikuti Ardian saat ini.
Segera setelah “pidato” pembuka rapat usai, seluruh murid yang hadir di sebuah ruangan kelas yang dijadikan tempat rapat ekskul—begitu murid-murid biasa menyingkat “ekstrakurikuler”—itu langsung membentuk beberapa kelompok sesuai departemen dan sibuk membahas materi yang akan dipublikasikan ke majalah yang akan dibaca oleh ratusan murid di sekolah itu yang sudah pasti mendapatkan majalah yang mereka susun dan akan dibagikan pada saat peerimaan rapot nanti, serta pembagian tugasnya.
Begitupun dengan Ardian yang kini tengah sibuk berdiskusi dengan kelompok departemen yang ia ikuti. Sang koordinator yang merupakan kakak kelasnya itu tengah duduk menghadap ke anggotanya sembari memimpin dan mengarahkan anggotanya—termasuk Ardian—dalam diskusi. Beberapa pendapat terlontar dari pemikiran-pemikiran anggota Departemen Artikel yang jadi wadah Ardian saat ini, namun pendapat tersebut beberapa diterima dan lainnya malah terlempar tak berdaya.
Tiba-tiba saja, seseorang mengajukan usul yang lain. “Kalau kita buat artikel sendiri bagaimana, Kak?”.
Sang Koordinator itu tampak berpikir sejenak. “Satu artikel dari pembaca saja tidak cukup, Dik?”.
Dengan cepat, Ardian mengerti maksud dari usul tersebut. “Bukan masalah tidak cukup. Tapi rubrik Artikel yang kita kelola ini sebenarnya bukan hanya bersumber dari pembaca saja. Kita yang sebagai anggota Majalah pun seharusnya bisa mengirimkan artikel. Bahkan, dari rubrik Artikel ini bisa menjadi tempat kita sebagai anggota Majalah untuk berbagi pendapat”.
Anggota yang menyimak tanggapan Ardian tampak mengangguk-angguk, antara paham atau karena memang dianggap bagus. Melihat situasi ini, Sang Koordinator Departemen Artikel ini langsung merespon, “Lalu, solusimu, Ar?”.
“Ya, seperti yang diusulkan oleh teman saya ini. Hanya saja, jika boleh saya perbaiki,...”. Ardian lalu menghentikan sejenak perbendaharaan kata-katanya yang terdesak ingin keluar. Kemudian, dengan ekor mata, Ardian melirik ke arah temannya yang tadi memberikan usul tersebut. Seakan mengerti, anak ini mengangguk halus satu kali.
“... mungkin kita bisa menambah ruang untuk anggota Majalah di rubrik Artikel ini”, pungkasnya.
Dengan sedikit kerutan di dahi, Sang Koordinator itu berpikir untuk dapat meresapi dan mempertimbangkan pendapat kedua anggotanya ini di dalam selubung otaknya. “Baik kalau begitu. Usulan kalian berdua saya terima”.
Wajah sumringah pun seketika hadir pada muka Ardian dan temannya itu, seraya mengucap hamdalah dengan riang dan tulus.
Namun, deheman dari koordinator itu membuat dua pasang mata dari Ardian dan temannya itu seketika tertuju kepada koordinator mereka. Raut mereka berubah drastis.
“Untuk usulan ini, Kakak minta Dik Ardian yang mengisinya. Bisa?”.
Ardian kaget seketika. “Hah?! Kenapa saya, Kak?”.
===
“Ooohh... jadi karena nggak mau berlama-lama menentukan, makanya kamu yang disuruh, gitu?”, ungkap Aru saat dirinya bersama Ardian duduk di angkot biru yang kali ini menyerupai Zebra.
Ardian mengangguk. “Iya. Tapi, nggak apa-apa lah. Toh, itu juga konsekuensi yang harus aku terima kalau memberi usul”.
“Konsekuensi apa karena ada hal lain nih?”, tanya Aru tiba-tiba, seraya mengerling nakal ke Ardian yang diiringi dengan sebuah senyuman.
“Maksudmu apaan sih?”, ujar Ardian sambil menyenggol bahu Aru. Mereka berdua lalu larut dalam tawa persahabatan mereka.
“Tapi benar juga sih. Itu karena aku memang cinta banget menulis”.
===
Ardian memang sudah terkenal sejak ia duduk di kelas 8 SMP karena hobi menulisnya. Bakatnya mulai tampak saat sekolah tempat ia menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama dulu pernah mengadakan kompetisi menulis yang dibuka bebas untuk muridnya. Saat itu, dia berhasil menyabet juara harapan pertama sesekolahnya karena dianggap materi yang terdapat pada tulisannya yang saat itu berbentuk artikel merupakan salah satu yang terbaik diantara enam kandidat yang terpilih, meski memang saat itu artikelnya masih jauh dibawah murid-murid lainnya yang bahkan dilengkapi juga dengan keunggulan halaman yang ditulis maupun dari penggunaan diksi. Dan sejak saat itu, prestasi yang Ardian raih karena mengikuti passion-nya untuk menulis pun mulai berdatangan. Mulai dari lomba cerpen yang mengangkat tema Bulan Suci Ramadhan, lomba karya tulis ilmiah, dan bahkan artikel yang bersifat lokal maupun nasional pun ia dapatkan—meski memang tak semua bisa dia menangi.
Namun, prestasi yang ia raih beberapa tahun silam itu rupanya menyiksanya saat ia tiba di rumah. Saat perjalanan pulang tadi bersama Aru, Ardian sebenarnya sudah mendapat ide tentang tema yang akan ia angkat untuk menulis artikelnya. Namun, entah apa yang terjadi, otaknya berhenti berpikir lagi, bersamaan dengan turunnya Ardian dari angkot dan berjalan kaki menuju rumahnya yang tak jauh dari sana. Bagai ruji roda yang kekurangan oli, jalan pikiran Ardian sebentar-sebentar berhenti. Kalau dalam bahasa Jawa, pikiran Ardian saat ini sedang nyandet.
Bahkan, saat ia tengah membuka laptop hadiah dari usahanya saat mengikuti lomba menulis di suatu kesempatan, hal itu terulang kembali. Lebih parah lagi, pikirannya langsung tak mau jalan sama sekali saat dirinya sudah membuka aplikasi Microsoft Word. Tuntasnya laptop berwarna biru itu memuat aplikasi yang saat ini banyak digandrungi oleh pengguna komputer berbasis sistem operasi Windows itu tak diikuti oleh hilangnya kekalutan Ardian dalam menentukan tema yang ingin ia angkat. Dan akhirnya, ia hanya membuka-buka file yang dulu perah ia buat untuk modal dia mengikuti beragam lomba menulis, meski akhirnya tak satupun solusi yang tercetus dari nurani Ardian yang kini sedang galau.
===
Dia pikir hal itu tak akan berlanjut keesokan harinya.
Buruknya, kekalutan dirinya gara-gara masalah artikel itu bahkan mendahului waktu bangun Ardian dari tidurnya di waktu Shubuh. Seusai sholat Shubuh pun pikiran itu tak kunjung berakhir, dan bahkan sebelumnya pikiran itu terbawa di saat dirinya seharusnya butuh thuma’ninah dalam sholatnya kepada Allah Ta’ala. Persiapan menuju ke sekolah, pergi mandi, sarapan pagi, berjalan kaki dan bahkan bertemu Aru di angkot pun pikiran itu seakan tak mau lepas dari Ardian. Entah lem apa yang menempel lekat di tubuh Ardian. Ardian sendiri sebenarnya sudah bingung akan hal ini.
“Hei! Ada apa?”, Aru pun akhirnya tersadar sikap temannya yang daritadi diam seribu bahasa sejak tegur sapa di dalam angkot beberapa waktu lalu.
Dengan pandangan kosong, Ardian menatap wajah Aru yang duduk di sebelahnya. Sontak Aru terkejut meski cuma sampai dalam hati.
“Nggak. Nggak apa-apa”.
“Tapi kok wajahmu nggak seperti biasanya. Ada apa?”, tanya Aru.
“Ah sudah deh. Nggak usah dibahas”, tutup Ardian seraya mengibas-ngibaskan tangannya dan mengalihkan pandangnnya dari Aru yang terus saja memperhatikannya.
===
“Kak, aku bingung nih...”, keluh Ardian di suatu sudut di sekolah tercintanya.
Penasaran, Sang Koordinator yang juga kakak kelas Ardian itu pun bertanya. “Bingung kenapa, Dik?”.
Pertanyaan kakak kelasnya itu tak dijawab sepatah kata pun oleh Ardian. Dia malah menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak berketombe itu, ragu-ragu mengeluarkan keluhan yang sudah dia alami beberapa hari lalu. Meski sebenarnya tak ada yang harus dibuat ragu-ragu olehnya karena ia dan Sang Koordinator itu kini tengah berada di beranda masjid sekolah, tepat sehabis shalat Ashar. Semilirnya angin Malang pun tak dapat menenangkan sanubari Ardian dari kekalutan tiada henti itu.
“Digaruk lagi. Nanti luka lho, kepalanya”, seloroh Sang Koordinator itu yang kerap dipanggil Kak Dinda oleh Ardian.
“Nggg, itu. Ini Kak, masalah rapat yang kemarin, yang waktu itu usul tambah ruang untuk rubrik Artikel di majalah kita”, ujar Ardian akhrinya, meski masih ragu-ragu.
Kak Dinda pun mengingatnya kembali, dan mengangguk. “Bukannya kamu setuju atas permohonanku yang waktu itu ya?”.
“Iya sih...”, kata Ardian sambil mengalihkan pandangannya.
Sudah lebih dari dua minggu “penyakit” Ardian itu tak kunjung sembuh. Berkali-kali keluar ide, tapi tak satupun yang direalisasikan. Sudah lebih dari sering Ardian mengeluarkan laptop-nya untuk menampung segala hal yang bisa dia pikirkan, namun pada akhirnya lid laptop biru Ardian itu terpaksa ia tutup kembali tanpa menorehkan sebiji kalimat pun di atas kertas visual yang terdapat di aplikasi Word-nya. Dan hal itu membuat keseharian Ardian mulai terganggu. Semua aktivitasnya di rumah jadi serba terhambat, pelajaran di sekolah mulai susah diterima oleh otak Ardian yang sebenarnya punya storage yang masih banyak, dan bahkan ibadahnya yang ia tujukan kepada Allah Yang Maha Kuasa pun tak lagi bisa fokus.
“Kalau nggak sanggup ya bilang saja Dik. Kakak maklumi kok”, tawar Kak Dinda pada adik kelasnya yang juga anggotanya di Departemen Artikel itu.
Sejenak, Ardian menatap Kak Dinda. “Bukan nggak sanggup, Kak. Tapi, tema yang mau aku bahas di rubrik Artikel ini nanti. Sedikit-sedikit keluar, tapi nggak jadi”, jelas Ardian, sembari menolak halus tawaran koordinatornya ini.
“Iya, Kakak paham kok. Tapi, ...”.
Sebuah salam yang entah berasal dari mana, membuat Kak Dinda berhenti melanjutkan kata-kata yang ingin ia keluarkan kepada Ardian yang sepertinya memang butuh hiburan. Dan tak butuh waktu lama untuk mencarinya, karena orang yang memberi salam tadi sudah duduk di sebelah Ardian. Refleks, mereka berdua menjawab salam tersebut.
“Wah, ada apa ini? Berdua-duaan itu nggak baik lho”, ujar orang itu dengan nada bercanda.
Kak Dinda berusaha berkelit dari candaan temannya itu lantaran ia tahu kalau itu memang hanyalah guyonan dan karena dia sendiri memang dibutuhkan oleh Ardian. “Nggak kok, nggak apa-apa. Nih adikmu, Ketua. Bingung mau nulis apaan untuk mengisi tambahan rubrik Artikel. Dia lho yang kasih usul untuk tambah ruang di rubrik Artikel agar kru Majalah juga bisa beraspirasi dengan opini mereka”, ujarnya sambil memuji dan menunjuk Ardian. Ardian cuma bisa tersenyum malu-malu.
“Oh ya?”, Sang Ketua ekstrakurikuler Majalah itu pun terkejut mendengarnya.
Masih tersipu, Ardian berusaha mengelak. “Bukan aku kok, Kak. Aku cuma melengkapi usulan temanku saja kok”.
“Hmmm...bingung mau nulis apa ya...”, gumam Sang Ketua. “Yang menyuruh kamu untuk menulis, siapa?”, kali ini dia bertanya pada Ardian.
“Kak Dinda, Kak Gilang”, jawab Ardian singkat sambil menunjuk Kak Dinda tanpa menunjuknya dengan sodoran tangannya.
Kak Gilang mengangguk-angguk. “Sudah pernah menulis?”.
“Oh, sudah Kak!”, kali ini nada Ardian terdengar bersemangat.
Lalu, mimik Kak Gilang ini berubah. Dahinya mulai berkerut, dan posisi tangannya yang memegangi dagunya yang sudah mulai subur oleh janggutnya yang tipis-tipis itu menandakan ia sedang berpikir. Entah, mungkin sedang menggali informasi agar tidak sembarangan saat dirinya nanti memberikan solusi pada adik kelasnya ini. “Mungkin kamu kurang dekat sama Allah”, jawabnya pada Ardian.
Ardian terkejut seketika. “Kurang dekat dari mana ya, Kak? Bukannya saya sudah sering sholat?”, tanyanya.
“Kelihatan dari cara bicaramu tadi. Saking cintanya kamu sama menulis sampai-sampai kamu mengurangi kecintaanmu pada Yang Memiliki Cinta”, ujarnya.
Panjang lebar, Kak Gilang lalu menasihati Ardian yang sepertinya kekurangan jatah cinta kepada Yang Maha Kuasa. Ia lalu menerangkan tentang betapa indahnya bila jiwa ini selalu ingat kepada Allah. Baginya, senantiasa mengingat pada Allah merupakan salah satu bentuk cinta diri ini kepadaNya.
“Kalau kita cinta sama orang tua kita sendiri saja mesti butuh bukti, kita juga mesti berlaku yang sama juga dong, kalau kita cinta sama Allah Yang Maha Mencintai”, jelas Kak Gilang.
“Lalu Kak? Hubungannya dengan menulis?”, tanya Ardian. Ia kini lebih mirip peserta acara pengajian di salah satu saluran televisi yang mulai digemari penonton.
Dengan sabar disertai guyonan, Kak Gilang pun menjelaskan keterkaiatannya dengan cinta kepada Allah. Dia mengutip salah satu hadits yang intinya menjelaskan tentang niat seseorang yang dapat menentukan arah perbuatan yang telah ia niatkan tersebut. Dia lalu menghubungkannya dengan menulis. Ia lalu mencontohkan beberapa mahakarya Muslim di saat era peradaban Islam berkembang pesat yang salah satunya adalah lewat tulisan-tulisan dari para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang ia tujukan hanya untuk mendapat ridha Allah Ta’ala.
“Kalau kita niat menulis itu karena untuk meraih ridha dari Allah, maka insya Allah kita akan dapatkan tidak hanya ridha Allah, tapi juga salah satunya adalah kemudahan kita dalam menulis. Tapi jika kita niatkan menulis hanya untuk urusan duniawi, maka yang kita dapatkan yaa... hanya dunianya saja. Dan, belum tentu lho, apa yang kita niatkan untuk duniawi ini bisa benar-benar kita dapatkan duniawinya. Kalau sudah begitu kan, duniawi terlepas, Allah pun tak bisa kita dekati lagi.
“Kalau aku sih Dik, kalau kita sudah meniatkan segala sesuatu hanya kepada Allah, itu sudah menjadi salah satu bukti kita kalau kita mengingat Allah, dan otomatis itu menjadi salah satu bukti kita kalau kita cinta sama Allah. Yah, intinya banyak-banyak berdzikir lah”, pungkas Kak Gilang.
Sudah lebih dari lima belas menit Ardian termenung mendengar petuah Kak gilang. Lebih dari seperempat jam dia terpana menatap Kak Gilang yang sabar menasihatinya. Dia sekarang baginya seorang ustadz kawakan.
“Terima kasih Kak. Ngomong-ngomong, Kakak ini anggota Perkumpulan Muslim Sekolah juga ya?”, tanya Ardian setelah menerima petuah yang baginya sangat mengena di hati nuraninya.
Kak Gilang pun tertawa. Tawanya hangat, ringan. “Nggak lah Dik. Ekskul Majalah saja sudah cukup kok. Kan, nggak semua yang bisa menasihati yang baik itu anggota Perkumpulan Muslim Sekolah”, ungkapnya.
===
Ia tak habis pikir untuk mendekat pada Tuhannya sendiri. Dia pikir urusan duniawi yang sepele seperti hobi menulisnya yaaa... cuma untuk kesenangannya saja. Tidak harus ia kaitkan dengan Allah Yang Maha Penyayang.
Namun dugaannya itu salah. Rupanya menulis yang sudah menjadi bakat terpendamnya itu bisa dijadikan sebagai sarana untuk lebih dengan Allah, mencintai Tuhannya lebih dari apa yang ia cintai di dunia ini. Cinta di atas cinta, pikirnya.
Dan ketika sehabis shalat Maghrib dan membenarkan niatnya, ia pun mengeluarkan laptop birunya dan ia kuakkan perlahan lid yang tebalnya tak sampai 2 sentimeter itu. Ia nyalakan tombol power, lalu ia gerak-gerakkan kursor di layar dengan mousepad di laptop-nya. Ia buka aplikasi Word untuk yang kesekian kalinya dalam dua pekan terakhir ini. Ia tak peduli lagi dengan beragam tema yang bermunculan di dalam otaknya. Karena begitu Windows 7-nya telah usai memuat Microsoft Word, sebuah tema yang terang benderang di dalam otaknya akan ia tuangkan ke dalam beribu-ribu ketikannya di laptop-nya.

Sekian.

No comments:

Post a Comment