Nah, ini adalah kesempatan pertama saya berkolaborasi dengan Bapak Bagoes Darmawan yang merupakan guru matematika saya sewaktu di kelas dua SMP (trims, Pak :) ). Sebenarnya sih, saya juga sudah punya blog sendiri (silahkan kunjugi ya :) ). Tapi yah, emang semua sepi di blog saya.
Ya udah. Ini kali pertama saya posting di blog ini. Jadi, enjoy my cerpen ya!
Cinta
di Atas Cinta
Hari
Sabtu pagi yang cerah tanpa menyisakan segumpal pun awan kelabu di langit.
Sinar fajarnya membiaskan ke segala penjuru. Angin yang setia menemani di waktu
pagi pun ikut berhembus pelan membawa kesan sejuk-dingin di Kota Malang yang
memang berada di daerah perbukitan. Meski begitu, jalanan mulai dipenuhi oleh
berbagai kendaraan yang berlalu-lalang dengan beragam tujuan: mencari nafkah,
menuntut ilmu, atau sekedar bersilaturahmi ke beberapa saudara terdekat.
Di
sebuah tempat di sana yang tak akan tampak bila dilihat dari peta Tanah Air,
seorang murid berseragam SMA sedang berdiri tegak sambil berusaha menyetop
sebuah angkutan umum yang kebetulan sedang melaju kencang menuju ke arahnya.
Angkot—begitu kebanyakan orang menyebutnya—yang sejatinya adalah Kijang yang
dimodifikasi sedemikian rupa dan dilapisi oleh cat warna biru laut itu lalu
meminggirkan dirinya agar murid SMA yang meyetopnya itu bisa naik.
“Landungsari
ya, Pak!”, seru murid SMA itu pada sang supir yang sejurus kemudian langsung
injak gas. Dia lalu merogoh ponsel yang ada di saku seragamnya, dan lalu sibuk
dengan benda batangan berwarna keperakan itu. Beberapa saat yang lalu dia
memang merasakan sebuah getaran dari sakunya yang ia duga berasal dari
ponselnya tersebut.
Tiba-tiba...
PUK!
“Assalamualaikum,
Ar!”.
Sebuah
tepukan yang langsung disusul oleh sebuah sapaan ramah tadi membuat konsentrasi
Ardian terhadap ponsel bermodel geser itu buyar seketika. Refleks, ia menoleh
ke sumber suara. Sapaan yang ia dengar tadi sudah khas di telinganya.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah!”, jawab Ardian seraya tersenyum pada Aru. “Wah, bareng lagi nih
kita”.
“Hehe...
iya nih. Eh, nanti kamu ikut kan, rapat redaksi sepulang sekolah nanti?”.
Ardian
mengangguk mantap. “Insya Allah aku usahakan ikut. Aku barusaja buka sms dari
ketua. Nih!”, katanya sembari menunjukkan ponsel Sony Ericsson seri Walkman-nya
kepada Aru.
=========
“Karena
kurang dari dua bulan lagi sekolah kita akan mengadakan Ujian Kenaikan Kelas,
maka saya harapkan majalah sudah bisa mulai dicetak dua minggu sebelum ujian
dilaksanakan”, ujar Ketua yang tengah berdiri di hadapan puluhan anggotanya,
seraya memberikan pembukaan singkat untuk rapat hari ini.
Meski
jam pelajaran telah usai, namun hal itu tak serta merta membuat lingkungan sekolah
sunyi seketika. Beberapa ekstrakurikuler mulai beraktivitas justru ketika
sebagian besar murid telah beranjak pulang. Salah satunya, ekstrakurikuler
Majalah yang diikuti Ardian saat ini.
Segera
setelah “pidato” pembuka rapat usai, seluruh murid yang hadir di sebuah ruangan
kelas yang dijadikan tempat rapat ekskul—begitu murid-murid biasa menyingkat
“ekstrakurikuler”—itu langsung membentuk beberapa kelompok sesuai departemen
dan sibuk membahas materi yang akan dipublikasikan ke majalah yang akan dibaca
oleh ratusan murid di sekolah itu yang sudah pasti mendapatkan majalah yang
mereka susun dan akan dibagikan pada saat peerimaan rapot nanti, serta
pembagian tugasnya.
Begitupun
dengan Ardian yang kini tengah sibuk berdiskusi dengan kelompok departemen yang
ia ikuti. Sang koordinator yang merupakan kakak kelasnya itu tengah duduk
menghadap ke anggotanya sembari memimpin dan mengarahkan anggotanya—termasuk
Ardian—dalam diskusi. Beberapa pendapat terlontar dari pemikiran-pemikiran
anggota Departemen Artikel yang jadi wadah Ardian saat ini, namun pendapat
tersebut beberapa diterima dan lainnya malah terlempar tak berdaya.
Tiba-tiba
saja, seseorang mengajukan usul yang lain. “Kalau kita buat artikel sendiri
bagaimana, Kak?”.
Sang
Koordinator itu tampak berpikir sejenak. “Satu artikel dari pembaca saja tidak
cukup, Dik?”.
Dengan
cepat, Ardian mengerti maksud dari usul tersebut. “Bukan masalah tidak cukup.
Tapi rubrik Artikel yang kita kelola ini sebenarnya bukan hanya bersumber dari
pembaca saja. Kita yang sebagai anggota Majalah pun seharusnya bisa mengirimkan
artikel. Bahkan, dari rubrik Artikel ini bisa menjadi tempat kita sebagai
anggota Majalah untuk berbagi pendapat”.
Anggota
yang menyimak tanggapan Ardian tampak mengangguk-angguk, antara paham atau
karena memang dianggap bagus. Melihat situasi ini, Sang Koordinator Departemen
Artikel ini langsung merespon, “Lalu, solusimu, Ar?”.
“Ya,
seperti yang diusulkan oleh teman saya ini. Hanya saja, jika boleh saya
perbaiki,...”. Ardian lalu menghentikan sejenak perbendaharaan kata-katanya
yang terdesak ingin keluar. Kemudian, dengan ekor mata, Ardian melirik ke arah
temannya yang tadi memberikan usul tersebut. Seakan mengerti, anak ini
mengangguk halus satu kali.
“...
mungkin kita bisa menambah ruang untuk anggota Majalah di rubrik Artikel ini”,
pungkasnya.
Dengan
sedikit kerutan di dahi, Sang Koordinator itu berpikir untuk dapat meresapi dan
mempertimbangkan pendapat kedua anggotanya ini di dalam selubung otaknya. “Baik
kalau begitu. Usulan kalian berdua saya terima”.
Wajah
sumringah pun seketika hadir pada muka Ardian dan temannya itu, seraya mengucap
hamdalah dengan riang dan tulus.
Namun,
deheman dari koordinator itu membuat dua pasang mata dari Ardian dan temannya
itu seketika tertuju kepada koordinator mereka. Raut mereka berubah drastis.
“Untuk
usulan ini, Kakak minta Dik Ardian yang mengisinya. Bisa?”.
Ardian
kaget seketika. “Hah?! Kenapa saya, Kak?”.
===
“Ooohh...
jadi karena nggak mau berlama-lama menentukan, makanya kamu yang disuruh,
gitu?”, ungkap Aru saat dirinya bersama Ardian duduk di angkot biru yang kali
ini menyerupai Zebra.
Ardian
mengangguk. “Iya. Tapi, nggak apa-apa lah. Toh, itu juga konsekuensi yang harus
aku terima kalau memberi usul”.
“Konsekuensi
apa karena ada hal lain nih?”, tanya Aru tiba-tiba, seraya mengerling nakal ke
Ardian yang diiringi dengan sebuah senyuman.
“Maksudmu
apaan sih?”, ujar Ardian sambil menyenggol bahu Aru. Mereka berdua lalu larut
dalam tawa persahabatan mereka.
“Tapi
benar juga sih. Itu karena aku memang cinta banget menulis”.
===
Ardian
memang sudah terkenal sejak ia duduk di kelas 8 SMP karena hobi menulisnya.
Bakatnya mulai tampak saat sekolah tempat ia menempuh pendidikan di tingkat
menengah pertama dulu pernah mengadakan kompetisi menulis yang dibuka bebas
untuk muridnya. Saat itu, dia berhasil menyabet juara harapan pertama
sesekolahnya karena dianggap materi yang terdapat pada tulisannya yang saat itu
berbentuk artikel merupakan salah satu yang terbaik diantara enam kandidat yang
terpilih, meski memang saat itu artikelnya masih jauh dibawah murid-murid
lainnya yang bahkan dilengkapi juga dengan keunggulan halaman yang ditulis
maupun dari penggunaan diksi. Dan sejak saat itu, prestasi yang Ardian raih
karena mengikuti passion-nya untuk menulis pun mulai berdatangan. Mulai
dari lomba cerpen yang mengangkat tema Bulan Suci Ramadhan, lomba karya tulis
ilmiah, dan bahkan artikel yang bersifat lokal maupun nasional pun ia
dapatkan—meski memang tak semua bisa dia menangi.
Namun,
prestasi yang ia raih beberapa tahun silam itu rupanya menyiksanya saat ia tiba
di rumah. Saat perjalanan pulang tadi bersama Aru, Ardian sebenarnya sudah
mendapat ide tentang tema yang akan ia angkat untuk menulis artikelnya. Namun,
entah apa yang terjadi, otaknya berhenti berpikir lagi, bersamaan dengan
turunnya Ardian dari angkot dan berjalan kaki menuju rumahnya yang tak jauh
dari sana. Bagai ruji roda yang kekurangan oli, jalan pikiran Ardian
sebentar-sebentar berhenti. Kalau dalam bahasa Jawa, pikiran Ardian saat ini
sedang nyandet.
Bahkan,
saat ia tengah membuka laptop hadiah dari usahanya saat mengikuti lomba
menulis di suatu kesempatan, hal itu terulang kembali. Lebih parah lagi,
pikirannya langsung tak mau jalan sama sekali saat dirinya sudah membuka
aplikasi Microsoft Word. Tuntasnya laptop berwarna biru itu memuat
aplikasi yang saat ini banyak digandrungi oleh pengguna komputer berbasis
sistem operasi Windows itu tak diikuti oleh hilangnya kekalutan Ardian dalam
menentukan tema yang ingin ia angkat. Dan akhirnya, ia hanya membuka-buka file
yang dulu perah ia buat untuk modal dia mengikuti beragam lomba menulis, meski
akhirnya tak satupun solusi yang tercetus dari nurani Ardian yang kini sedang
galau.
===
Dia
pikir hal itu tak akan berlanjut keesokan harinya.
Buruknya,
kekalutan dirinya gara-gara masalah artikel itu bahkan mendahului waktu bangun
Ardian dari tidurnya di waktu Shubuh. Seusai sholat Shubuh pun pikiran itu tak
kunjung berakhir, dan bahkan sebelumnya pikiran itu terbawa di saat dirinya
seharusnya butuh thuma’ninah dalam sholatnya kepada Allah Ta’ala.
Persiapan menuju ke sekolah, pergi mandi, sarapan pagi, berjalan kaki dan
bahkan bertemu Aru di angkot pun pikiran itu seakan tak mau lepas dari Ardian.
Entah lem apa yang menempel lekat di tubuh Ardian. Ardian sendiri sebenarnya
sudah bingung akan hal ini.
“Hei!
Ada apa?”, Aru pun akhirnya tersadar sikap temannya yang daritadi diam seribu
bahasa sejak tegur sapa di dalam angkot beberapa waktu lalu.
Dengan
pandangan kosong, Ardian menatap wajah Aru yang duduk di sebelahnya. Sontak Aru
terkejut meski cuma sampai dalam hati.
“Nggak.
Nggak apa-apa”.
“Tapi
kok wajahmu nggak seperti biasanya. Ada apa?”, tanya Aru.
“Ah
sudah deh. Nggak usah dibahas”, tutup Ardian seraya mengibas-ngibaskan
tangannya dan mengalihkan pandangnnya dari Aru yang terus saja
memperhatikannya.
===
“Kak,
aku bingung nih...”, keluh Ardian di suatu sudut di sekolah tercintanya.
Penasaran,
Sang Koordinator yang juga kakak kelas Ardian itu pun bertanya. “Bingung
kenapa, Dik?”.
Pertanyaan
kakak kelasnya itu tak dijawab sepatah kata pun oleh Ardian. Dia malah
menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak berketombe itu, ragu-ragu mengeluarkan
keluhan yang sudah dia alami beberapa hari lalu. Meski sebenarnya tak ada yang
harus dibuat ragu-ragu olehnya karena ia dan Sang Koordinator itu kini tengah
berada di beranda masjid sekolah, tepat sehabis shalat Ashar. Semilirnya angin
Malang pun tak dapat menenangkan sanubari Ardian dari kekalutan tiada henti
itu.
“Digaruk
lagi. Nanti luka lho, kepalanya”, seloroh Sang Koordinator itu yang kerap dipanggil
Kak Dinda oleh Ardian.
“Nggg,
itu. Ini Kak, masalah rapat yang kemarin, yang waktu itu usul tambah ruang
untuk rubrik Artikel di majalah kita”, ujar Ardian akhrinya, meski masih
ragu-ragu.
Kak
Dinda pun mengingatnya kembali, dan mengangguk. “Bukannya kamu setuju atas
permohonanku yang waktu itu ya?”.
“Iya
sih...”, kata Ardian sambil mengalihkan pandangannya.
Sudah
lebih dari dua minggu “penyakit” Ardian itu tak kunjung sembuh. Berkali-kali
keluar ide, tapi tak satupun yang direalisasikan. Sudah lebih dari sering
Ardian mengeluarkan laptop-nya untuk menampung segala hal yang bisa dia
pikirkan, namun pada akhirnya lid laptop biru Ardian itu terpaksa ia
tutup kembali tanpa menorehkan sebiji kalimat pun di atas kertas visual yang
terdapat di aplikasi Word-nya. Dan hal itu membuat keseharian Ardian mulai
terganggu. Semua aktivitasnya di rumah jadi serba terhambat, pelajaran di
sekolah mulai susah diterima oleh otak Ardian yang sebenarnya punya storage
yang masih banyak, dan bahkan ibadahnya yang ia tujukan kepada Allah Yang Maha
Kuasa pun tak lagi bisa fokus.
“Kalau
nggak sanggup ya bilang saja Dik. Kakak maklumi kok”, tawar Kak Dinda pada adik
kelasnya yang juga anggotanya di Departemen Artikel itu.
Sejenak,
Ardian menatap Kak Dinda. “Bukan nggak sanggup, Kak. Tapi, tema yang mau aku
bahas di rubrik Artikel ini nanti. Sedikit-sedikit keluar, tapi nggak jadi”,
jelas Ardian, sembari menolak halus tawaran koordinatornya ini.
“Iya,
Kakak paham kok. Tapi, ...”.
Sebuah
salam yang entah berasal dari mana, membuat Kak Dinda berhenti melanjutkan
kata-kata yang ingin ia keluarkan kepada Ardian yang sepertinya memang butuh
hiburan. Dan tak butuh waktu lama untuk mencarinya, karena orang yang memberi
salam tadi sudah duduk di sebelah Ardian. Refleks, mereka berdua menjawab salam
tersebut.
“Wah,
ada apa ini? Berdua-duaan itu nggak baik lho”, ujar orang itu dengan nada
bercanda.
Kak
Dinda berusaha berkelit dari candaan temannya itu lantaran ia tahu kalau itu
memang hanyalah guyonan dan karena dia sendiri memang dibutuhkan oleh Ardian.
“Nggak kok, nggak apa-apa. Nih adikmu, Ketua. Bingung mau nulis apaan untuk
mengisi tambahan rubrik Artikel. Dia lho yang kasih usul untuk tambah ruang di
rubrik Artikel agar kru Majalah juga bisa beraspirasi dengan opini mereka”,
ujarnya sambil memuji dan menunjuk Ardian. Ardian cuma bisa tersenyum
malu-malu.
“Oh
ya?”, Sang Ketua ekstrakurikuler Majalah itu pun terkejut mendengarnya.
Masih
tersipu, Ardian berusaha mengelak. “Bukan aku kok, Kak. Aku cuma melengkapi
usulan temanku saja kok”.
“Hmmm...bingung
mau nulis apa ya...”, gumam Sang Ketua. “Yang menyuruh kamu untuk menulis,
siapa?”, kali ini dia bertanya pada Ardian.
“Kak
Dinda, Kak Gilang”, jawab Ardian singkat sambil menunjuk Kak Dinda tanpa
menunjuknya dengan sodoran tangannya.
Kak
Gilang mengangguk-angguk. “Sudah pernah menulis?”.
“Oh,
sudah Kak!”, kali ini nada Ardian terdengar bersemangat.
Lalu,
mimik Kak Gilang ini berubah. Dahinya mulai berkerut, dan posisi tangannya yang
memegangi dagunya yang sudah mulai subur oleh janggutnya yang tipis-tipis itu
menandakan ia sedang berpikir. Entah, mungkin sedang menggali informasi agar
tidak sembarangan saat dirinya nanti memberikan solusi pada adik kelasnya ini.
“Mungkin kamu kurang dekat sama Allah”, jawabnya pada Ardian.
Ardian
terkejut seketika. “Kurang dekat dari mana ya, Kak? Bukannya saya sudah sering
sholat?”, tanyanya.
“Kelihatan
dari cara bicaramu tadi. Saking cintanya kamu sama menulis sampai-sampai kamu
mengurangi kecintaanmu pada Yang Memiliki Cinta”, ujarnya.
Panjang
lebar, Kak Gilang lalu menasihati Ardian yang sepertinya kekurangan jatah cinta
kepada Yang Maha Kuasa. Ia lalu menerangkan tentang betapa indahnya bila jiwa
ini selalu ingat kepada Allah. Baginya, senantiasa mengingat pada Allah
merupakan salah satu bentuk cinta diri ini kepadaNya.
“Kalau
kita cinta sama orang tua kita sendiri saja mesti butuh bukti, kita juga mesti
berlaku yang sama juga dong, kalau kita cinta sama Allah Yang Maha Mencintai”,
jelas Kak Gilang.
“Lalu
Kak? Hubungannya dengan menulis?”, tanya Ardian. Ia kini lebih mirip peserta
acara pengajian di salah satu saluran televisi yang mulai digemari penonton.
Dengan
sabar disertai guyonan, Kak Gilang pun menjelaskan keterkaiatannya dengan cinta
kepada Allah. Dia mengutip salah satu hadits yang intinya menjelaskan tentang
niat seseorang yang dapat menentukan arah perbuatan yang telah ia niatkan
tersebut. Dia lalu menghubungkannya dengan menulis. Ia lalu mencontohkan
beberapa mahakarya Muslim di saat era peradaban Islam berkembang pesat yang
salah satunya adalah lewat tulisan-tulisan dari para ilmuwan dan cendekiawan
Muslim yang ia tujukan hanya untuk mendapat ridha Allah Ta’ala.
“Kalau
kita niat menulis itu karena untuk meraih ridha dari Allah, maka insya Allah
kita akan dapatkan tidak hanya ridha Allah, tapi juga salah satunya adalah
kemudahan kita dalam menulis. Tapi jika kita niatkan menulis hanya untuk urusan
duniawi, maka yang kita dapatkan yaa... hanya dunianya saja. Dan, belum tentu
lho, apa yang kita niatkan untuk duniawi ini bisa benar-benar kita dapatkan duniawinya.
Kalau sudah begitu kan, duniawi terlepas, Allah pun tak bisa kita dekati lagi.
“Kalau
aku sih Dik, kalau kita sudah meniatkan segala sesuatu hanya kepada Allah, itu
sudah menjadi salah satu bukti kita kalau kita mengingat Allah, dan otomatis
itu menjadi salah satu bukti kita kalau kita cinta sama Allah. Yah, intinya
banyak-banyak berdzikir lah”, pungkas Kak Gilang.
Sudah
lebih dari lima belas menit Ardian termenung mendengar petuah Kak gilang. Lebih
dari seperempat jam dia terpana menatap Kak Gilang yang sabar menasihatinya.
Dia sekarang baginya seorang ustadz kawakan.
“Terima
kasih Kak. Ngomong-ngomong, Kakak ini anggota Perkumpulan Muslim Sekolah juga
ya?”, tanya Ardian setelah menerima petuah yang baginya sangat mengena di hati
nuraninya.
Kak
Gilang pun tertawa. Tawanya hangat, ringan. “Nggak lah Dik. Ekskul Majalah saja
sudah cukup kok. Kan, nggak semua yang bisa menasihati yang baik itu anggota
Perkumpulan Muslim Sekolah”, ungkapnya.
===
Ia
tak habis pikir untuk mendekat pada Tuhannya sendiri. Dia pikir urusan duniawi
yang sepele seperti hobi menulisnya yaaa... cuma untuk kesenangannya saja.
Tidak harus ia kaitkan dengan Allah Yang Maha Penyayang.
Namun
dugaannya itu salah. Rupanya menulis yang sudah menjadi bakat terpendamnya itu
bisa dijadikan sebagai sarana untuk lebih dengan Allah, mencintai Tuhannya
lebih dari apa yang ia cintai di dunia ini. Cinta di atas cinta,
pikirnya.
Dan
ketika sehabis shalat Maghrib dan membenarkan niatnya, ia pun mengeluarkan laptop
birunya dan ia kuakkan perlahan lid yang tebalnya tak sampai 2
sentimeter itu. Ia nyalakan tombol power, lalu ia gerak-gerakkan kursor
di layar dengan mousepad di laptop-nya. Ia buka aplikasi Word
untuk yang kesekian kalinya dalam dua pekan terakhir ini. Ia tak peduli lagi
dengan beragam tema yang bermunculan di dalam otaknya. Karena begitu Windows
7-nya telah usai memuat Microsoft Word, sebuah tema yang terang benderang di
dalam otaknya akan ia tuangkan ke dalam beribu-ribu ketikannya di laptop-nya.
Sekian.
0 comments:
Post a Comment